Vokatif Bahasa Prancis dalam Percakapan Facebook
←
→
Page content transcription
If your browser does not render page correctly, please read the page content below
Vokatif Bahasa Prancis dalam Percakapan Facebook Fierenziana Getruida Junus Universitas Indonesia fierenziana@gmail.com Abstract In communicating, the way and the content of the conversation are two things inseparable. The speakers should be good to package the message with considering the relationship with their interlocutor. Wardaugh (2010: 274) states that the things should be considered in maintaining the communication are: pronominal choice, the use of naming and address terms and the employment of politeness markers. This article based on a research about vocative in French Facebook conversation (FFC). According to Biber et al (1999: 1108), vocative is an expression used as the address by the participant in the conversation. They are important in defining and maintaining sosial relationships between participants. There are several theories of some scholars, such as Arnold Zwicky (1974), Friederike Braun (1988) and Douglas Biber et al (1999), that are used to analyze the data, The objective of this article is to categorize vocatives used in FFC. There are about 555 files of FFC used as corpus. The result shows that almost all the vocative categories have been found in FFC, with several variations of form, formation and meaning. The use of vocative in spoken conversations and FB conversations are the same, but in FB conversation, there is another category namely “full account name”, which also has a different function with vocative function in spoken conversations. This category become a typical vocative category of Facebook conversation. Key words : address, French vocative, Facebook, full account name, hypocorism. 1. Pendahuluan Dalam berkomunikasi baik cara penyampaian maupun isi percakapan menjadi dua hal yang sulit dipisahkan. Setiap penutur harus mampu mengemas pesan yang disampaikan dengan mempertimbangkan hubungannya dengan lawan tuturnya. Wardaugh (2010, hal. 274) mengatakan bahwa yang harus dipertimbangkan dalam membangun komunikasi ada 3 hal yaitu : pemilihan pronominal, penggunaan nama dan sapaan, dan penggunaan penanda kesopanan. Vokatif yang merupakan bagian dari sapaan menjadi hal yang penting dalam membangun percakapan dan menjaga komunikasi dengan penutur lain (Zago, 2015). Perkembangan teknologi selama lebih dari satu dasa warsa ini, memengaruhi perkembangan komunikasi manusia. Model komunikasi manusia berubah, dari yang sifatnya tatap muka menjadi kegiatan yang berhadapan dengan perangkat teknologi, dari yang bersifat lisan menjadi tulisan. Percakapan tulisan pun dikemas sedemikian rupa sehingga menghidupkan suasana bercakap secara lisan oleh para penutur (Junus & Laksman-Huntley, 2016). Perkembangan teknologi ini menurut Watt (2010) berdampak pada perubahan bahasa. Sebagai salah satu media sosial yang sangat popular belakangan ini, Facebook (FB) menjadi media komunikasi yang digunakan oleh banyak masyarakat dunia. Menurut data statistik 103
(http://expandedramblings.com/index.php/by-the-numbers-17-amazing-facebook-stats/) hingga April 2016 pengguna FB mencapai 1,65 milyar pengguna aktif per bulan (Monthly Active User). Jauh melampaui media sosial lainnya. Bahkan tercatat bahwa tersedia lebih dari 70 bahasa pada situs tersebut (http://www.statisticbrain.com/). FB menjadi ladang penelitian bahasa yang menarik mengingat belum banyak yang menjadikannya sebagai objek penelitian penggunaan bahasa. Salah satu yang menarik untuk diteliti menurut penulis adalah vokatif yang sering digunakan oleh pengguna FB dalam percakapan mereka. Penelitian yang penulis lakukan adalah terutama mengenai bentuk dan proses pembentukan vokatif serta makna dan fungsinya. Sumber data penelitian ini diambil dari laman FB (http: //www.facebook.com/). Analisis dilakukan dengan menggunakan korpus data berupa 555 fail yang berisi percakapan para pengguna FB. 2. Apakah Vokatif itu? Vokatif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah panggilan, ajakan atau seruan. Vokatif menurut Karl Bühler merupakan salah satu fungsi bahasa dari tiga fungsi bahasa yang dikemukakannya dalam organon model yaitu appelfunktion, selain fungsi bahasa ekspresif dan fungsi bahasa referensial. Fungsi bahasa vokatif atau biasa juga disebut fungsi konatif merupakan fungsi bahasa untuk menarik perhatian lawan tutur dan menentukan perilakunya (Parpalea, 2011). Pembahasan mengenai vokatif sebagai salah satu fungsi bahasa merupakan pembahasan yang sangat luas. Namun penulis mendasarkan penelitian ini pada pendapat Schaden (2010) yang mengatakan bahwa vokatif dalam arti sempit merupakan frasa nomina yang mengidentifkasi atau menggambarkan lawan tutur kepada siapa ujaran ditujukan. Pada bagian berikut akan dipaparkan penelitian vokatif yang dilakukan beberapa ahli bahasa yaitu Arnold Zwicky (1974), Friederike Braun (1988), Douglas Biber, Stig Johanson, Geoffrey Leech, Susan Conrad dan Edward Finnegan (1999). 2.1 Menurut Arnold Zwicky Dalam artikelnya Hey What’syourname! (Zwicky, 1974), Zwicky mengatakan bahwa vokatif adalah sebuah unsur yang terpisah dalam sebuah kalimat, biasanya dipisahkan oleh intonasi dan bukan merupakan penjelasan dari kata kerja dalam kalimat tersebut. Dalam artikelnya Zwicky membedakan frasa nomina yang merupakan vokatif dan frasa nomina yang merupakan referensi. Menurut Zwicky vokatif merujuk langsung pada lawan tutur. Misalnya dalam kalimat “Jacquie, your grammar leaks”. Jacquie merupakan vokatif berbeda dengan kalimat “I’m going to tell Jacquie that her grammar leaks” di mana Jacquie hanya berupa referensi dan merupakan penjelasan dari verba tell. Vokatif menurut Zwicky memiliki 2 fungsi yaitu dapat berupa panggilan ataupun sapaan. Panggilan ditujukan untuk menarik perhatian lawan tutur, sapaan untuk membangun atau menekankan kontak antara penutur dan lawan tutur. Keduanya dapat ditemukan dalam bentuk selain frasa nominal dan juga dengan cara yang non-linguistik. Kita dapat menarik perhatian seseorang dengan menggunakan kata ‘hey’ misalnya atau dengan sentuhan di bahu atau dengan sebuah lambaian. Zwicky membuat beberapa kategori mengenai vokatif yaitu: 104
1) Vokatif yang menggunakan nama diri dan kata benda yang digunakan untuk memanggil atau yang disebutnya dengan pseudo proper name atau nama diri semu seperti Blondie (untuk yang berambut pirang) atau Joe (untuk tentara), dll. Ada 9 kategori vokatif yang menggunakan nama diri menurut Zwicky yaitu : (a) Gelar + nama belakang, misalnya Prof Llewellyn; (b) Prefiks + Nama belakang misalnya Mr./Ms./Mrs/ Miss Pandit; (c) Gelar kekeluargaan (Kintitle) + Nama depan, seperti Uncle Robert, Uncle Bob; (d) Nama depan, seperti Margaret, Peggy ; (e) Gelar kekeluargaan + Nama belakang, misalnya Grandmother Rice, Grandma Myshkin (f) Gelar + Nama depan seperti Lady Jane, Reverend Bob; (g) Prefiks + nama depan, misalnya Mr. Albert, Miss Susan; (h) Nama depan + nama belakang, misalnya Herbert Hanson, Herbie Hanson; (i) Nama belakang, misalnya Abercrombie. 2) Kintitle atau gelar yang menjelaskan hubungan kekeluargaan, seperti grandma, brother, dll 3) Vokatif dapat saja berupa kalimat lengkap dengan menggunakan pronominal you seperti “You with the sweater on, move about a foot to the left!” 4) Vokatif dapat berupa ciri yang bersifat rasial atau kelompok bangsa tertentu seperti Jap (Jepang), Niger (Nigeria), dll. 5) Vokatif dapat berupa kata sifat yang menunjukkan ciri seseorang seperti slim, skinny, dll. 6) Vokatif yang menjelaskan pekerjaan seperti waiter, driver, cabie, dll. 7) Vokatif juga dapat dibedakan dalam penggunaan kata-kata sosial tertentu yang menunjukkan interaksi yang terjadi dalam percakapan misalnya, - nilai positif atau negatif - sopan atau tidak sopan - tingkat keformalan, dari yang cukup formal hingga yang bersifat casual - menyangkut penilaian diri terhadap lawan tutur : superior atau inferior ataupun setara - tingkat keintiman dari yang sangat dekat hingga yang sangat berjarak 8) Berdasarkan ciri atau identitas lawan tutur : - Jenis kelamin, seperti son, daughter, dll. - Usia, seperti grandma,young man, dll - Pekerjaan seperti, doc, cabbie, dll - Karakter fisik seperti skinny, carot-top, dll - Karakter pribadi, seperti creep, dope, dll - Hubungan keluarga father, uncle, dll - Status pernikahan Miss Fonda, Mrs Hayden. 9) Berdasarkan kelompok dari lawan tutur (klas sosial, sub kultur dan dialek), misalnya Mary, Grace, Ella yang digunakan dalam komunitas gay. Menurut Zwicky vokatif dalam bahasa Inggris hampir tidak pernah netral, vokatif mengekspresikan atau menunjukkan kesopanan, formalitas, status, keintiman atau peran hubungan dan juga menjelaskan siapa pembicara. 105
2.2 Friederike Braun Dalam bukunya yang berjudul Terms of Address Braun (1988) tidak menyebut secara eksplisit tentang vokatif. Ia lebih banyak membahas mengenai address atau kata sapaan dan berbagai hal mengenai sapaan tersebut. Dalam bukunya Braun membagi bentuk sapaan dalam tiga kategori gramatikal yaitu pronomina, verba dan nomina. Kata sapaan berupa pronomina terbagi menjadi sapaan yang sopan bentuk V (V form) dan yang familiar atau akrab yaitu bentuk T (T form). Sementara untuk verba adalah semua bentuk sapaan yang sudah ada dalam verba sebuah kalimat. Kasus ini hanya dapat terjadi pada bahasa tertentu seperti bahasa Prancis. Ketika seseorang mengucapkan “Vas y” ‘pergilah’ maka akan diketahui bahwa penutur menggunakan sapaan tu kepada lawan tuturnya dengan adanya konjugasi verba aller untuk orang kedua tunggal tu yaitu vas. Sedangkan untuk nomina, Braun mengklasifikasikannya dalam beberapa kategori, dari pembagian inilah penulis mengambil kategori nominal ini sebagai vokatif merujuk kepada berbagai teori yang sudah penulis bahas di atas ataupun yang akan penulis bahas berikutnya. Pembagian kategori yang penulis masukan dalam kategori vokatif adalah : 1) Nama yang berupa sapaan dalam bentuk nomina yang ada dalam semua jenis bahasa. Dapat berupa nama diri, bergantung budaya masing-masing; 2) Kinship term atau sapaan berupa hubungan kekerabatan yang digunakan oleh dan untuk mereka yang memiliki hubungan darah. Ketika sapaan ini digunakan untuk menyapa seseorang yang tidak mempunyai hubungan darah dengan penutur ini disebut dengan hubungan kekerabatan fiktif. 3) Dalam banyak bahasa ada bentuk-bentuk sapaan yang sama dengan dalam bahasa Inggris seperti Mr/Mrs, atau bahasa Jerman Herr/Frau, Polandia pan/pani, etc. Semua ini merupakan bentuk umum yang tidak harus dilihat sebagai gelar khusus. 4) Gelar merupakan sesuatu yang diberikan atau dicapai dengan prestasi (dokter, mayor) atau yang diwariskan (seperti duke, count). 5) Nomina abstrak yaitu bentuk sapaan yang merujuk pada kualitas abstrak dari lawan tutur seperti (Your Excelency, Your Grace, etc.) 6) Sapaan dengan menggunakan jenis pekerjaan misalnya pelayan, supir, dsb. Terkadang dikombinasikan dengan Mr/Mrs bergantung aturan sapaan penghormatan yang berlaku. 7) Kata-kata khusus untuk hubungan tertentu digunakan sebagai bentuk sapaan dalam berbagai bahasa. Seperti bahasa Turki arkadas ‘teman’, Jerman college ‘kolega’, Arab dჳa:ri ‘tetangga’. 8) Ungkapan kasih sayang digunakan untuk menyapa anak kecil atau orang kepada siapa seseorang merasa dekat, hampir sering yang digunakan merupakan nomina yang dapat digunakan sebagai bentuk sapaan.. 9) Beberapa bentuk sapaan menentukan lawan bicara sebagai ayah, saudara laki-laki, istri, atau saudara perempuan dari seseorang yang lain lewat ungkapan hubugan lawan bicara kepada orang lain. Misalnya dalam bahasa Arab abu Ali ‘ayahnya Ali’, bint Ahmed ‘anak perempuan 106
Ahmed’, dsb. Atau menggunakan bentuk seperti ‘Ayah Ali’ untuk menghindari penggunaan nama diri lawan bicara. Perbedaan antara Zwicky dan Braun adalah dalam hal gelar. Bagi Braun gelar adalah sesuatu yang diberikan atas pencapaian ataupun warisan. Namun Zwicky bahkan menganggap panggilan yang berhubungan dengan hubungan kekerabatan sebai gelar (kintitle). Selain itu Braun menambahkan beberapa kategori yang tidak disebutkan oleh Zwicky karena kasus yang dibahas oleh Zwicky hanya kasus bahasa Inggris sementara kasus yang diteliti oleh Braun mencakup bahasa lain selain bahasa Inggris sehingga banyak fenomena lain yang muncul. 2.3 Menurut Douglas Biber dkk Vokatif, menurut Biber dkk, merupakan bagian dari bentuk sapaan. Vokatif penting dalam menentukan dan membangun hunbungan antara partisipan dalam percakapan. Ada tiga fungsi vokatif menurut Biber dkk (1999) yaitu : (a) menarik perhatian orang; (b) mengidentifikasikan seseorang sebagai lawan tutur; (c) membangun dan memertahankan hubungan sosial. Posisi vokatif dalam ujaran menentukan fungsi apa yang dijalankan oleh vokatif tersebut. Jika vokatif berada pada awal ujaran maka fungsi (a) dan (b) yang sedang dijalankannya. Sementara jika vokatif terletak pada akhir ujaran maka fungsi yang dijalankannya adalah fungsi (b) dan (c). Biber dkk membuat kategori vokatif yang merepresentasikan hubungan para partisipan dalam percakapan dari yang sangat familiar atau intim sampai pada yang paling berjarak dan respektif, sebagai berikut : 1) Endearment atau ungkapan kasih sayang seperti baby, (my) darling, (my) dear, dll 2) Family terms atau penggunaan istilah hubungan kekeluargaan. Seperti mummy, mum, mom, ma, dad,dll 3) Familiarizers atau panggilan untuk membangun hubungan yang akrab, seperti guy, bud, man, dll. 4) Familiarized first name atau proses mengakrabkan nama depan seperti Marj, Paulie, Jackie, dll. 5) First name in full atau dengan menggunakan nama depan secara lengkap, seperti Marjorie, Paul, Jason, dll 6) Title and surname atau gelar dan nama belakang, misalnya Mrs. John dan Mr Graham. 7) Honorifics atau panggilan hormat seperti, sir dan madam 8) Others, lainnya termasuk julukan atau nickname seprti, boy, red dog, lazy, dll Dibandingkan dengan pemaparan yang dilakukan Zwicky dan Braun, vokatif yang dirumuskan Biber dkk sedikit lebih sederhana namun hampir mencakup semua yang diungkapkan kedua ahli sebelumnya. Tiga karya mereka membuat pengategorian yang kurang lebih saling beririsan, meskipun dalam penyebutan ada perbedaan. Perbedaan yang paling mencolok dari ketiganya adalah penyebutan gelar. Biber menyebut Mr/Mrs sebagai gelar, sedangkan Braun tidak menganggapnya sebagai gelar melainkan sebagai sebutan yang umum, sementara Zwicky menyebutnya sebagai prefiks. Dalam hal ini penulis lebih setuju dengan Braun yang mengatakan 107
bahwa gelar adalah sesuatu yang diperoleh lewat prestasi ataupun diwariskan, sementara untuk Mr/Mrs atau yang sejenis dengan itu penulis sepakat dengan Zwicky yang menyebutnya sebagai prefiks. 3. Vokatif dalam Facebook Dalam mengidentifikasi vokatif yang ada dalam percakapan Facebook berbahasa Prancis, penulis menggunakan istilah yang dikemukakan oleh ketiga literatur di atas. Penetapan istilah yang digunakan berikut didasarkan pada kesesuaian atau ketepatan penjelasannya dengan data yang ditemukan dalam penelitian. Nama pemilik akun FB dalam data akan disingkat menjadi inisial untuk menjaga kerahasiaan identitas pemilik akun, kecuali dalam kasus dimana penyebutan nama tersebut sulit dihindari untuk kepentingan analisis. 3.1 Terms of endearment Terms of endearment atau sapaan yang memperlihatkan rasa kasih sayang biasanya digunakan untuk orang yang sudah sangat akrab. Biasanya menandai ikatan kedekatan dan perasaan antara anggota keluarga yang dekat, pasangan seksual ataupun orang yang disukai (Biber, 1999). Dalam korpus ditemukan ada 14 vokatif yang dikategorikan lagi menjadi 1) Menggunakan nama hewan. Panggilan dengan menggunakan kata yang merujuk pada nama hewan ini dilakukan untuk menyatakan rasa sayang penutur kepada lawan tutur. Misalnya poule ‘ayam betina’ atau biche ‘rusa betina’ yang juga ditambahkan sufiks -ette yang memberi makna diminutif menjadi poulette ‘ayam betina kecil’ atau bichette ‘rusa betina kecil’. Bahkan untuk biche silaba awal direduplikasi menjadi bibiche. Vokatif lain yang digunakan adalah loup ‘serigala’dan loulou. Menurut kamus daring NRTL secara etimologis loulou berasal dari reduplikasi kata loup yang kemudian menjadi sebutan untuk sejenis anjing kecil. Vokatif ini digunakan juga bersama dengan posesif untuk orang pertama tunggal, yaitu ma poule, ma poulette, ma biche, ma bichette, ma bibiche, mon loup, mon loulou, dan ma puce. Ma poule, ma poulette (1) digunakan hanya untuk lawan tutur perempuan dan lebih sering dilakukan oleh penutur perempuan. Sedangkan mon loup dan mon loulou (2), ma biche (3), dan ma puce (4) ditujukan baik kepada laki-laki maupun perempuan dan digunakan oleh baik penutur laki-laki maupun perempuan. (1) VQ (pr) : a toi ossi poulette.... ‘Kau juga, sayang’ PS (pr) : merci ma poule.... ‘Terimakasih, sayangku’ (2) PAM (lk) : Une porte de plus qui se ferme...[…] ‘Satu pintu lagi tertutup ‘ EC (pr) : courage mon loulou[...] ‘Semangat, sayangku’ (3) OC (lk) : Bh moi j'ai pas retrouvé .. ‘Saya tidak menemukannya’ CB (pr) : Ça viendra ma biche, […] ‘Segera datang, sayangku’ (4) AT (lk) : je vais le defenser lol ‘Saya akan membelanya lol et vous me manquer saya merindukan kalian’ SFA (pr) : tu viens quand tu veux ma puce ‘datanglah kapan kau mau sayangku’ 108
2) Menggunakan kata benda abstrak seperti amour ‘cinta’, amoureux ‘pencinta’, dan cheri/e ’sayang’. Lebih sering ditambahkan dengan posesif orang pertama tunggal. Vokatif ini digunakan baik oleh penutur perempuan maupun laki-laki kepada lawan tutur laki-laki dan perempuan.Biasanya digunakan bersama posesif untuk orang pertama. Seperti berikut : (5) TD (lk) : Mon amour je t' ! ‘Sayangku, aku mencintaimu’ LTTD (pr) : Je t'aime aussi mon amour ‘Aku mencintaimu juga, sayangku’ (6) CR : trop belle ma Cherie ‘Cantik sekali, sayangku’ (7) AE : Au top mon amoureux ‘Keren, sayangku’ 3) Kata benda lain yang digunakan adalah coeur ‘jantung’ dan bébé ‘bayi’ beserta variannya berupa abreviasi yaitu bb ataupun penambahan posesif untuk orang pertama tunggal. Digunakan oleh penutur baik laki-laki maupun perempuan kepada lawan tutur baik laki-laki maupun perempuan (8) DP : Moi aussi je t'aime pour toujour ‘Saya juga mencintaimu selamanya, mon coeur sayangku (9) LP : Pv bébé ‘Jalur pribadi, sayang’ CD : Ok bébé ‘ok, sayang’ 4) Menggunakan kata yang merujuk hubungan keluarga seperti nenette dan pepette. Menurut kamus daring Reverso, nenette dalam bahasa yang familiar berarti fille ’anak perempuan’ atau femme ‘perempuan dewasa’. Menurut kamus daring CNRTL(Centre National de Ressources Textuelles et Lexicales) kata nenette merujuk pada dua kemungkinan. Yang pertama berasal dari kata comprenette, yang merujuk pada ‘kepala’, sementara kemungkinan kedua adalah berasal dari kata nene yang merupakan bahasa kanak-kanak untuk memanggil ibu ataupun pengasuh mereka. Jika dilihat kedua kemungkinan tersebut, maka menurut penulis kemungkinan kedualah yang paling mendekati. Kata tersebut berasal dari kata nene yang kemudian diberi sufiks –ette yang memberi makna diminutif. Sementara untuk kata pepette, menurut kamus daring Reverso berasal dari pépée yang berasal dari reduplikasi hasil penggalan silaba akhir (apokop) kata poupée ‘boneka’. Kata tersebut kemudian mendapatkan sufiks –ette menjadi pepette yang memberikan makna diminutif. Vokatif nenette dan pepette ini ditujukan kepada anak perempuan atau perempuan yang lebih muda dari penutur. Keduanya juga digunakan dengan posesif untuk orang pertama tunggal, seperti dalam kalimat berikut : (10) ST (pr) : Trop belle ma nenette ‘cantik sekali, sayang ‘ JA (pr) : Merci moi aussi ‘terima kasih, saya juga’ (11) CT (pr) : trop belle aussi ma pepette ‘cantik sekali, sayang’ LTTD(pr) : Merci tata ‘terima kasih, tante’ Dalam pembentukan vokatif untuk menunjukkan rasa sayang, yang sering terjadi adalah hypocorism atau pembentukan panggilan dengan mengikuti cara anak-anak mengucapkan. Seperti yang terjadi pada beberapa contoh di atas misalnya nenette, pepette, bibiche, dst. 109
3.2 Istilah kekerabatan Vokatif ini digunakan oleh penutur yang memiliki hubungan keluarga atau kekerabatan dengan lawan tutur. Dalam data ditemukan 21 jenis vokatif untuk kategori ini. Yaitu mama ‘ibu’, papa ‘ayah’, fille ‘anak perempuan, fils ‘anak laki-laki’, frère ‘saudara laki-laki’, sœur ‘saudara perempuan’, gars ‘anak laki-laki’, mamie ‘nenek’, tonton ‘paman’, tata ‘bibik’, cousin ‘sepupu laki-laki’, cousine ‘sepupu perempuan’, mari ‘suami’, neveu ‘keponakan laki-laki’, dan nice ‘keponakan perempuan’. Dengan varian lain seperti untuk frère terdapat varian seperti petit frère, frero, dan frr atau soso sebagai varian dari sœur. Varian lain yaitu dengan menggunakan posesif untuk orang pertama tunggal seperti mon frère, mon petit frère, mon frero, mon frr, mon neveu, mon gars, dan mon mari ‘suamiku’. Yang menarik dari data ini adalah bahwa vokatif untuk mamie ‘nenek’ ditemukan sementara untuk papie ‘kakek’ tidak ditemukan, hal ini mungkin disebabkan kurangnya lelaki usia lanjut yang menggunakan facebook atau mereka tidak berinteraksi dengan cucu mereka di media sosial seperti FB. 1) Familiarizer atau istilah pergaulan yaitu vokatif yang digunakan untuk mengakrabkan hubungan antara penutur dan lawan tutur. Kata yang digunakan ada yang merupakan kata- kata yang digunakan dalam hubungan keluarga atau kekerabatan. Seperti frère ‘saudara laki- laki’, sœur ‘saudara perempuan’ atau dengan varian masing-masing seperti fréro, frr, atau soso. Kata lain yang digunakan adalah kata yang menunjukkan hubungan antara penutur dan lawanan tutur seperti ami/e, amie, copain,, copine dan variannya coco, camarade yang semuanya bermakna ‘teman’. Kata lain yang bermakna kurang lebih sama adalah pote ‘sobat’ yang merupakan penggalan dari kata poteau ‘tiang’atau bisa juga merujuk pada betis. Kata ini merupakan argot yang digunakan sebagai panggilan pada pergaulan anak muda. Coco, camarade dan pote digunakan oleh penutur baik laki-laki maupun perempuan kepada lawan tutur baik laki-laki maupun perempuan. Selain itu digunakan berdasarkan jenis kelamin dari setiap lawan tutur. Kesemua vokatif ini juga mendapatkan posesif seperti dalam kalimat di bawah ini : (12) AP : C bien min copain ‘Bagus, teman’ ` (13) CBR : Je suis là en paix mon amie ‘Saya dalam kedamaian, teman’ (14) EC : Bonne anniversaire mon pote ‘selamat ulang tahun, sobat’ (15) RB : Oui Soso [,,,] après on nous ‘oke, mbak […] setelah itu kita parle de croyance pfff bisous ngobrol tentang keyakinan mmmuah (16) MP : Felicitations coco ‘selamat, teman’ (17) AL : Wesh ya quoi frere ? ‘Wasalam ada apa, teman?’ 2) First name in full atau nama depan lengkap yang digunakan sebagai vokatif. Dalam korpus ditemukan data seperti Benoit, Arnaud, Mathilde, Melinda, Julie, Sylvain, dll. Ada juga vokatif yang menggunakan posesif seperti mon Jordan. 3) Familiarized first name atau perubahan nama depan. Untuk vokatif ini nama lawan tutur diubah oleh penutur dengan tujuan untuk mengakrabkan diri dengan lawan tutur. Dalam korpus data, nama depan mengalami pemenggalan silaba akhir atau apokop seperti pada Valerie yang menjadi Val, Florentin menjadi Flo, Kevin menjadi Kev, Nicolas menjadi Nico 110
dll. Selain itu ada juga yang mengalami proses reduplikasi setelah apokop, seperti Coralie atau Corentin menjadi Coco; Jerôme atau Geoffrey menjadi Jeje; Julien atau Julie menjadi Juju, Yohan menjadi Yoyo; Laurence menjadi Lolo, dst. Atau setelah mengalami apokop diberi tambahan –ie, seperti Charles menjadi Charlie atau –ette yang memberi makna diminutif untuk mengungkapkan rasa sayang seperti Claire menjadi Clairette; Ada pula yang mengalami proses pemenggalan pada silaba awal atau aferesis kemudian direduplikasi misalnya Lio menjadi Yoyo dan Arnaud menjadi Nono. 4) Penggunaan Monsieur/Madame/Mademoiselle. Dalam bahasa Prancis panggilan penghormatan yang digunakan adalah Monsieur (M.) untuk laki-laki, Madame (Mme) untuk perempuan. Penggunaan Monsieur maupun Madame ini biasanya juga diikuti oleh nama belakang. Dalam beberapa kasus panggilan ini digunakan untuk merujuk pada status pernikahan lawan tutur. Terutama untuk perempuan, dikenal dengan panggilan Madame untuk yang menikah dan Mademoiselle (Mlle) untuk yang belum menikah. Misalnya Mme + nama belakang merujuk pada perempuan yang menikah dengan lelaki pemilik nama belakang tersebut. Seperti misalnya Madame Dubois, merujuk pada perempuan yang menikah dengan Monsieur Dubois. Sedangkan Mlle + nama belakang merujuk pada perempuan yang belum menikah yang merupakan anak dari lelaki pemilik nama belakang tersebut. Misalnya, Mademoiselle Dubois berarti anak perempuan dari M. Dubois. Uniknya dalam korpus yang penulis teliti tidak ditemukan penggunaan Monsieur, madame maupun mademoiselle yang diikuti oleh nama belakang melainkan Monsieur + nama depan (18) atau Madame + julukan (19), atau tidak diikuti oleh nama (20), (21), seperti pada contoh berikut : (18) AG : Waa!! Effectivement très beau ‘Komentar yang bagus, […] commentaire, […] MONSIEUR Vincent! Tuan Vincent’ (19) MC : Ça manque de ponctuations, vraiment... ‘Kurang tanda baca, serius. Mais sinon j'adore. Kalau tidak, saya pasti suka CBR : Madame pertinence ‘Nyonya EYD’ (20) AP : Ok madame calma por favor ‘Oke, Nyonya… sabarlah’ (21) LS : Oo non oO comment oser vous ‘tidak .. beraninya Anda dire cela mademoiselle ! mengatakan hal itu Nona! LC : Mais monsieur je dis la simple ‘Tapi tuan, saya hanya veriter :p […] mengatakan kenyataan‘ Penggunaan vokatif kategori ini hanya digunakan untuk bercanda, cenderung untuk saling mengolok-olok satu sama lain di kalangan penutur muda FB. 5) Nickname atau dengan menggunakan julukan. Pemberian julukan yang penulis temukan dalam korpus yaitu : 1. Berdasarkan kategori gramatikal pembentuknya terdiri dari kata benda dan kata sifat. Biasanya diawali dengan posesif untuk orang pertama tunggal. Untuk kata benda misalnya (mon) prince, (mon) ange, (mon) con, (mon) salop, dan (mon) salaud. Sedangkan untuk kata sifat (ma) belle, (mon) gros dan (mon) grand. 111
2. Berdasarkan cirri dan identitas lawan tutur ditemukan karakter fisik yaitu (ma) belle, (mon) gros.(mon) grand, (mon) petit, (ma) petite, dll. 3. Menurut karakter pribadi atau yang bersfat non-fisik lawan tutur seperti, genius, (mon) salop, (mon) salaud, (mon) con, (mon) gland, dll 4. Kategori penggunaan kata yang bersifat sosial, seperti belle ‘cantik’, genius ‘jenius’, prince ‘pangeran’, angel ‘malaikat’ yang bernilai sosial positif dan salop, gland, salaud, con, dll yang bersifat negatif karena rujukannya kepada ‘pelacur’. Walau demikian dalam penggunaannya penutur tidak bermaksud untuk merendahkan lawan tutur, melainkan vokatif tersebut digunakan untuk memperlihatkan keakraban antara penutur dan lawan tutur, terutama ketika ditambahkan dengan posesif orang pertama tunggal. 5. Berdasarkan kelompok sosial seperti pada vokatif (Ma) petite parisienne ‘orang Parisku yang kecil’ 6) Full account name atau penggunaan akun FB secara lengkap. Dalam FB pemilik sebuah akun bisa saja tidak menggunakan nama sebenarnya. Mereka biasanya membuat nama akun yang berbeda dengan nama mereka sebenarnya meski banyak juga yang tetap menggunakan nama mereka yang sebenarnya. Dalam percakapan FB, jarang terjadi komunikasi diadik. Biasanya terjadi percakapan yang saling silang oleh lebih dari dua orang, karena begitu banyaknya partisipan dalam percakapan. Untuk menandai lawan tutur biasanya digunakan fitur tag (menandai) yang disediakan oleh FB. Penggunaan tag dalam FB dimaksudkan untuk memberi label kepada akun tertentu. Awalnya proses tagging pada FB hanya disediakan untuk gambar yang diunggah, namun belakangan ini FB menambahkan fungsi fitur tersebut untuk menandai akun lain dalam percakapan. Fungsi menandai dari fitur tag ini kini menjadi fungsi vokatif, yaitu menentukan kepada siapa komentar atau ujaran ditujukan oleh penutur. Dalam percakapan FB letak vokatif dapat saja di awal ujaran (22) atau di akhir ujaran (23). (22) AP : Celia Paolini pas trop déçut? ‘Celia Paolini, tidak terlalu kecewa?’ (23) LM : Par contre je suis dégoûtée qu'il le ‘Sebaliknya saya jijik dia fasse pas Helene Marcaggi melakukan hal itu, Helene Marcaggi’ Berbeda dengan kategori sebelumnya, vokatif yang terakhir ini merupakan vokatif yang khas FB, vokatif ini baik letaknya pada awal maupun pada akhir ujaran memiliki fungsi yang sama seperti (a) menarik perhatian orang; (b) mengidentifikasikan seseorang sebagai lawan tutur; (c) membangun dan memertahankan hubungan sosial (Biber dkk, 1999); bahkan vokatif ini juga sering berfungsi (d) mengajak pengguna FB yang belum berkomentar untuk berpartisipasi dalam percakapan tersebut. Simpulan Vokatif dalam percakapan FB tidak berbeda dengan vokatif dalam percakapan lisan. Dalam korpus data ditemukan sekitar 9 kateogri vokatif yaitu ungkapan sayang, istilah kekerabatan, istilah pergaulan, penggunaan nama depan secara lengkap, perubahan nama depan, panggilan penghormatan, nama julukan, dan nama akun lengkap. Kategori yang terakhir merupakan kategori 112
khas yang hanya ada dalam percakapan FB. Selain sebagai kategori yang khas, vokatif ini juga memiliki fungsi yang berbeda dengan vokatif lain yaitu mengajak pengguna akun lain yang belum berkomentar dalam percakapan untuk ikut berpartisipasi, baik dengan memberi komentar maupun menunjukkan reaksi seperti suka, tertawa, sedih, dll. Kategori yang tidak ditemukan dalam korpus data adalah vokatif yang menunjukan penghormatan (honorific), merujuk pekerjaan dan penggunaan gelar. Hal ini mungkin disebabkan adanya kesetaraan hubungan antara para pengguna FB dalam korpus data yang diteliti. Sementara alasan untuk tidak menggunakan istilah yang berhubungan dengan pekerjaan mungkin disebabkan konteks yang ada dalam percakapan tersebut bukanlah konteks suasana yang mengharuskan pengguna FB dalam korpus data menggunakan vokatif tersebut. Untuk lebih memastikan hal tersebut diperlukan penelitian lain dengan korpus yang berbeda. Daftar Pustaka Biber, D., Johansson, S., Leech, G., Conrad, S., & Finnegan, E. (1999). Longman Grammar of spoken and written English. Harlow: Pearson Education. Braun, F. (1988). Terms of address: problems of patterns ussage in various languages and cultures. Berlin, New York, Amsterdam: Mouton de Gruyter. Junus, F. G., & Laksman-Huntley, M. (2016). Typical French Linguistic Process in Facebook. The Asia-Pacific Research in Social Sciences and Humanities. Depok. Parpalea, M. (2011). The Functional Approach In German Linguistics. Transilvania , Vol. 4 (53) No.2., 115-122. Schaden, G. (2010). Vocatives: A Note on Addressee-Management. 33rd Annual Penn Linguistic Colloquium (hal. 176-185). Pensnsylvania: Penn Libraries. Wardaugh, R. (2010). An introduction to sociolinguistic. UK: Wiley-Blackwell. Watt, H. J. (2010). How does the use of Modern Communication Technology Influence Language". Contemporary Issues in Science Communication and Disorders, hal. 144-148. Zago, R. (2015). "That's none of your business, Shy" The pragmatics of vocatives in film dialogue. Dalam M. Dynel, & J. Chovanec, Participatiom in Public and Social Media Interactions (hal. 183 - 207). Amsterdam: John Benjamins Publishing Company. Zwicky, A. (1974). Hey, What'syourname! Dalam M. La Galy, R. A. Fox, & A. Bruck, Papers from the Tenth Regional Meeting of the Chicago Linguistic Society (hal. 787-801). Chicago: Chicago Linguistics Society. 113
Ideology in Tourism Discourse: A CDA Study I Nengah Laba Sekolah Tinggi Pariwisata Bali Internasional laba@stpbi.ac.id I Wayan Pastika Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana wayanpastika@unud.ac.id Abstract This study examines tourism discourse in the national print media to answer a research question of what ideology is found in tourism discourse. This study uses is a method of qualitative research methodology. The approach in this study is a phenomenological approach using the phenomenon of the use of language in national print media. The grand theories used in this research is the theory of critical discourse analysis model proposed van Leeuwen (2005 ; 2008), and the conception of ideology enumerated by Thompson (2004) with a supporting theory of Critical Discourse Analysis proposed by Fairclough (1989; 1995). The research result of this found that there is no symmetrical relationship among investors and local people who are dominated by the capitalist character. This fact shows the ideology that developed in tourism discourse is the ideology of capitalism. The conception and empirical findings show that the distribution of tourism discourse is very dynamic. Key words: critical discourse, ideology, and tourism 1. Introduction The tourism development affects the language dynamically. This can be seen from the intersection between languages in tourism which has become a central phenomenon in post-modern society (cf., Fox, 2008: 13-15). It proves that the growth of tourism does not only affect the economic, socio-cultural and natural environment, but also the use of language. As an integrated system of representation, language is also a core medium for the tourism community and media institutions 114
for producing the text and discourses. In relation to this, mass media are likely a struggle area of any interest which can be implemented in the use of various discourse strategies. According to van Leeuwen and Machin (2007: 60-61), the discourse can also transform social praxis through various elements and contexts of interest. It means, the discourse in media will be able to affect the construction and social reality in the middle of society. Texts in printed media are the result of a discourse process that contains the values of representation, domination and ideology. The media will include perspectives from their point of views in explaining social reality. To find out how the printed media involves its views, the use of language as an important element is to be observed. With regard to this, lingual constructions in the form of words, phrases, sentences or specific expressions on tourism discourse have to be analysed. It is assumed that the choice has been made to have a certain perspective, a certain agenda and ideology, for example, in the sentence: "alih fungsi lahan produktif untuk pariwisata sudah pada tingkat mengkhawatirkan". This sentence shows that there is a land conversion by displaying the objects of tourism without indicating who is responsible for the land conversion. Ideology behind the text will affect the forms of various discourses. Discourse with capitalism or socialism ideology will produce a discourse with their characters. From this explanation, we can understand that critical discourse analysis will put the language in opening system based on their contexts. The analysis will always reveal on how the text is produced and reproduced. The relationship among media, discourse and ideology can be described as follows. Media Institution Media Texts Audience (society) Dominant Entity Dominating Expressions Domination Target LINGUAL CONSTRUCTION Representation Social Reality Social Contruction 115
Figure 1. Relationship between media, discourse and ideology (Source: Burton, 2012:75 modified by researcher) The figure above describes that the representation of the interests of a person or group requires media institutions and all instrument operations in order to open up the space in the discourse. Ideology will show the effects related to the attitudes and behavior of the audience as the cause of social construction that will affect social reality and need a space to represent itself. In this context, critical discourse analysis can be used as a framework to explore the representations and forms of domination in social life and the meaning can be seen through the lingual construction which has appeared in various discourse strategies used (van Leeuwen, 2005: 95). In connection with these issues, further study is conducted to explore discourse strategy and ideology in tourism discourse on the national printed media. 2. Literature Review, Concept, and Theoretical Framework 2.1 Literature review The main focus in conducting literature review is on how the researcher acquired the information in the form of theories used in this research, data, methodology and findings, with their strengths and weaknesses based on the concepts and approaches to get the relevance of this research. The literature review which is described in this study consists of three parts, namely: (1) textbooks that contribute to the framework in this study; (2) similar previous research, with relevant methodology and theoretical frameworks that support this study; and (3) The object of the research, that is tourism discourse. A work of Ling Ip (2008) entitled Analyzing Tourism Discourse: A Case Study of Hongkong Travel Brochure. This study reviewed about parts of tourism discourse in destination brochures in Hongkong. He reviewed the language used from micro to macro linguistics and the visual elements in those brochures and also the factors effecting interpretation of tourism discourse; A study by Thurlow and Jworski (2011) entitled Tourism Discourse: Language and Banal Globalization. This study explained about 1) tourism discourse in globalization, 2) the role of language and communication in tourism, 3) an understanding of the 116
language in globalization or a post industrial era (especially in tourism), 4) the circulation of linguistics material such as genre and language style and 5) how the local language are commodificated in tourism communication as stated by Bourdieu (1991) and Irvine (1989). Rahimi and Riasati (2011) explained the combination of Critical Discourse Analysis in synchronizing critical discourse analysis as the effects of certain ideology. The title of their study is “Critical Discourse Analysis: Scrutinizing Ideologically-Driven Discourses” which was published in the International Journal of Humanities and Social Sciences. This study combined critical discourse analysis approach by van Leeuwen, van Dijk, Hodge and Kress and Fairclough models and concluded that critical discourse analysis is a multidiscipline approach to analyze texts or conversations to get an intrinsic agenda behind domination in social life. Kheirabadi and Moghaddam (2012) did a research of linguistics on international mass media using discourse analysis approach entitled “The Linguistic Representation of Iranian and Western Actors of Iran’s Nuclear Program in International Media: A CDA Study. This research used discourse analysis approach of Fairclough (2001) and van Leeuwen (2008) models about social actors to review news and international articles that tell about the Iranian nuclear program. The source of data in this research taken from 50 news and articles of the international media including Agance France Press, Bloomberd, The Wall Street Journal, The Associated Press, The New York Times, The Washington Post, Reuters, and BBC News published in November – December 2010. In this study, Khierabadi and Moghhadam review the neutralization of printed media in giving information about the Iranian nuclear program from a linguistics point of view with discourse analysis approach of van Leeuwen model. 2.2 Theoretical Framework To analyze the phenomena in this study explicitly, the researcher used some relevant theories. Those theories are 1) critical discourse analysis theory; 2) critical discourse analysis theory of van Leeuwen model with exclusion and inclusion strategy approach; 2) lingual representation theory by Burton (2012) who stated that lingual representation on mass media works with two ways through determination and functionalism; 3) lingual domination theory by Burton (2008) who said mass media through lingual displayed has power to do construction and reconstruction of social reality; 4) ideology theory by Thompson (2003) who stated that ideology refers to description and process of asymmetrical power relation. According to Mayr (2008), a discourse is started from 117
social analysis by Foucault (1977), lead to critical linguistics by Fowler, et al (1979), and critical discourse analysis pioneered by Van Dijk (1990). Mayr explained the definition of discourse can be seen from two different perspectives, which are structuralism and functionalism. The structuralism views the discourse as the use of language especially of clauses and sentences that focus on how the structure of a text is framed as a whole and reflected in cohesion and coherence (cf. Halliday and Hasan, 1987:21-23; Halliday, 1994:129). Structuralism does not focus on social aspects which provide information about how people use and interpret the language. Meanwhile, the functionalist views discourse as a form of "language in use" which cannot be separated from the purpose and function of language as a means of communication in social praxis. Discourse, for the functionalist, is seen as a way of how language is used in social practices. In other words, language is able to represent the social realities while contributing to the construction of reality. Critical discourse analysis uses textual language to be analyzed. It means that the language is used for the purpose and specific practices, including the practice of social construction. Undersatnding the works of van Dijk, Fairclough, Sara Mills, Wodak, and van Leuween (cf. Eriyanto, 2001: 8-13), there are a number of critical discourse analysis characteristics can be formulated. For example, the discourse is seen as an act in form of interaction. That is, the discourse is placed in an open space, instead not only for the internal and the underlying assumption. This statement provides two implications, namely a) the discourse is seen as something that has a specific purpose. For example, the aims are to influence, persuade, or contradict someone and/or something. Someone who speaks or writes always has a goal and something that is revealed surely also has its own objectives; b) discourse is understood as something that is expressed consciously controlled, not something that is out of control or expressed outside of awareness. Van Leeuwen introduced a model in discourse analysis. Regarding the discourse, van Leeuwen (2005:94) said that: "The term" discourse "is often used to denote an extended stretch of connected speech or writing, a" text "."Discourse analysis" then means "the analysis of an extended text, or type of text". " Critical discourse analysis model of van Leeuwen shows how the parties and actors are displayed in a discourse. In his opinion, there are two points of focus. First, the process of exclusion in a text whether there is a group or actor issued in the discourse. The second is a process of inclusion. This process is the opposite of the process of exclusion. This process relates to the question of how a person or group of actors in an event is included or represented in a discourse. 118
By using the word, phrase, sentence information or the composition of certain linguistic forms, each party and group are represented using texts in a discourse. 3. Research Method The method used in this study was descriptive qualitative research using systematic writing of theory and then data observation continued with triangulation (Bungin, 2008: 23-24). Descriptive is used to present information accurately. This study contains excerpts such data to illustrate the presentation of the report. Because it is related to lexical use and linguistic aspects in tourism discourse, the description is very important. To reveal the context of language used in tourism discourse, this study has two main approaches. First, according to qualitative research paradigm, the researcher is a planner, data collector, analysts, interpreter and reporter of research findings (Moleong, 2011: 168). Second, this research focuses on research object of language used in national printed media. Corpus linguistic datain this study is in form of lexical, phrase, and clauses existing in Bali Post, Kompas and Nusa Bali (cf. Baker, 2010: 93 -95; Bednarek, 2006: 5-6). According to the critical paradigm, the task of the researchers is to interpret, explore, discover and explain the reality captured in the production and reproduction of a text in tourism discourse. 4. Discussion 4.1 Discourse Strategy The objective analysis of the implementation of discourse strategy is to find the hidden perspective in the text. The implementation of discourse strategy proposed by van Leeuwen (2005; 2008) showed how the parties and actors (individual or group) are displayed in a discourse. The model of critical discourse analysis developed by van Leeuwen focused on two main points, namely the process of exclusion and inclusion. Passivation strategy is a strategy that is used to hide social actors from the text. The analysis process on the part of this strategy will be used as elaboration of van Leeuwen approach (2008) with the structure of the text raised by van Dijk with three text structures which covers the macro structure, superstructure and microstructure. This discussion only focused on the microstructure, namely (1) the level of semantics, the search for meaning is behind the passivation strategy; (2) the level of syntax, how the structure of clauses and sentences used in discourse strategy; (3) the level of stylistic or lexicon described the actors involved; and (4) the level of rhetoric, how the rhetoric performed using discourse strategy to hide the actor who should be responsible in an event. Passivation strategy is one of the strategies taken to hide the 119
social actors in the text. The discourse strategy in the form of passivation strategy is shown in the sentence structure in the data 1. It is, “Kawasan elite pariwisata dibayangi kemiskinan”. Data (1) can be analyzed syntactically. At the level of syntax, the formation of sentence structure, “Kawasan elite pariwisata dibayangi kemiskinan” consists of a passive verb phrase, namely "dibayangi kemiskinan" combined with noun phrase, “kawasan elite” linguistically it acts as an agent. When it is examined closely at the level of Indonesian verbs which recognize the existence of two suffixes of verbs, {-i} and {-kan} attached to adjectives and nouns (base form). Associated with the data (1), "bayang" is categorized as base form. It is a bound morpheme. Having clung by suffix {-i}, it is then formed a transitive verb. The verb, “bayang” can be changed into active or passive diathesis such as “membayangi” and “dibayangi”. Analyzing the meaning of suffix {-i} for the above data, it has the meaning of ‘mendapat’. In this context, the verb argument, kawasan elite pariwisata gets shadow of bayang kemiskinan. In terms of thematic roles, verb overshadow specifies two arguments, namely the elite area of tourism and poverty. Referring to the conception of semantic macro role and syntactic criteria, the data is classified into passive voice which indicated by a passive marker {di-} on the verb. In this particular sense, passive voice is categorized as fixed in time or noneventive. The use of a passive voice affects the negligence of the actor as oblique in reference to van Leeuwen theory (2005; 2008), the social actor is excluded from the discourse. Referring to the theoretical discourse strategy proposed by van Leeuwen, the data (1) above contains a passivation strategy elements indicated by clause, “dibayangi kemiskinan”. Through this passivation strategy, the audience was led to see the other side of the the tourism elite area management. It is “kemiskinan”. Based on the characteristics of “kawasan elite”, every individual who live in the area should get splattered prosperity. However, there are some groups of people who are neglected from luxury tourism practice in the area. According to van Leeuwen (2008), passivation strategy is used to hide the actors who are supposed to be responsible for the shadows of poverty in the elite area of tourism. In this strategy the actor can be hidden or deliberately hidden through a strategy of exclusion in the form of a passivation strategy. Selection of such passive sentence is caused by the target of an attempt to hide the actors and media includes a lexicon of 'kemiskinan' as opposed to the proposition shaped phrase “kawasan elite” so the audiences are more interested in reading the news. The media has also economic targets to increase newspaper circulation sales. Both of these targets are the steps in selecting an argument with a passive verb 120
category. Lexical items, “dibayangi’ characterized the first and foremost step in view of exclusion discourse strategy. Through the passive voice, the actor can be eliminated in the discourse which is not that possible in the active sentence structure. 4.2 Ideology in Tourism Discourse In the discourse practice, Thompson (2003) stated that ideology as a practice works in the daily life and the meaning could be disseminated to retain the power. In line with this, Fairclough (1995b) found in cultural studies and communication, a text is created in the process of interpretation. This means that the text that appears in the media can have a potential consensus of meaning that is open to several different interpretations. The basic principle used in critical discourse analysis to examine how the ideology behind the discourse is how discourse practice reflects and contributes to the social and cultural changes. Local ideology which is put implicitly in a cultural tourism concept stipulated in ‘Bali Regional Regulation1 is an ideal form of how tourism in Bali is expected to rely on local ideology and spirit. In this context, ideology is seen as a social contract between Balinese people through the cultural domain with investors who invest in the tourism industry. It shows the ideology assumed as a form of a convention between the people of Bali with investors so that the people of Bali received the false consciousness that the movement of tourism in Bali is already referring to the local culture. Consciousness is in line with Karl Marx’s view (1818-1883) and Friedrich Engels (1820-1895) in Sobur (2009: 64-65) about the veil of consciousness or thoughts that cover the face authenticity. The legitimacy of the class role has the power to implement the ideas and ideology through control of the transfer of the forces of production, distribution, and information through the means of language. Control of ideas and information is done through the text used in the tourism discourse. In the discourse practice, Thompson (2003) states that ideology as a practice operates in the production of meaning in everyday life and the meaning can be disseminated to retain power. In line with this, Fairclough (1995b) states that in cultural studies and communication, text created in the process of interpretation. The basic principle used in critical discourse analysis is to examine the ideology behind the discourse and how the discourse practice reflects and contributes to the social and cultural changes. Local ideology implied in the concept of cultural tourism as stipulated in the Bali provincial regulations is an ideal form of tourism in Bali is expected to rely on the ideology and the local spirit. The phrase in data (2) “Pariwisata yang digerakkan oleh investor yang kental 121
dengan watak kapitalismenya dan didukung kebijakan yang pragmatis, menjadikan penduduk lokal semakin termarginalkan.” describes the reflections of tourism in Bali as a reflection of national tourism in Indonesia. The construction and development of tourism in Bali are standardized to the needs of capitalism which emphasizes on pragmatic needs and siding to the investors. The ideology of capitalism in tourism discourse represented into social reality which in this case is represented by elements such lingual “watak kapitalisme and kebijakan pragmatis”, and the local community are constantly marginalized depicted in the discourse of; “....oleh investor yang kental dengan watak kapitalismenya dan didukung kebijakan yang pragmatis, menjadikan penduduk lokal semakin termarginalkan.” in which in accordance to the ideology theory proposed by Thomson (2003), this is so called unsymmetrical relationship in the society. 5. Conclusion and Suggestion From the discussion in the previous chapter, it can be concluded that the various strategies of exclusion and inclusion used in the news or popular scientific articles related to tourism discourse. The choice of various discourse strategies above were influenced by meaning given of something which was highlighted or otherwise whether there was someone or something to be marginalized and excluded from the discourse. The research result of this found that there is no symmetrical relationship among investors and local people who are dominated by the capitalist character. This fact shows the ideology that developed in tourism discourse is the ideology of capitalism. The conception and empirical findings show that the distribution of tourism discourse is dynamic and is distributed top-down. A study of linguistics combined with a tourism theme in the perspective of critical discourse analysis approach is also associated with other social sciences, including ideological conception. In connection with this, this study still need further study with different approaches and the application theory to have the research result more comprehensive. 122
Daftar Pustaka Baker, P. (2010). Corpus Methods in Linguistics. Dalam Litosseliti, L (ed). Research Methods in Linguistics. London: Continuum International Publishing Group. Barker, C. and Galasinski, D. (2001). Cultural Studies and Discourse Analysis: A Dialogue on Language and Identity. London : SAGE Publications Ltd. Benarek, D. (2006). Evaluation in Media discourse: Analysis of a Newspaper Corpus. London: Continuum. Bestari, T.R., Artawan, G., Yasa, I N. (2014). “Pemberitaan Gubernur Bali, Mangku Pastika, dalam Surat Kabar Bali Post: Analisis Strategi Eksklusi-Inklusi Theo van Leeuwen. e- Journal Universitas Pendidikan Ganesha, JPBSI, Vol: 2 No. 1 Tahun 2014. Bungin, H.M.B. (2008). Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group. Burton, G. (2002). More Than Meets the Eye. An Introduction to Media Studies. Third Edition. London: Oxford Univeristy Press, Inc. Burton, G. (2008). Yang Tersembunyi di Balik Media. Pengantar kepada Kajian Media. (Alfathri Adlin, Pentj.) Yogyakarta: Jalasutra. Burton, G. (2010). Media & Society. 2nd Edition. New York: Open University Press. Burton, G. (2012). Media dan Budaya Populer. (Hodder Arnold, Pentj.) Yogyakarta: Jalasutra. Bustam, M.R., Heriyanto, Citraresmana, E. (2013). “The Exclusion Strategies of the Representation of Social Actors in the Case of FPI’s Rejection to Lady Gaga’s Performance in Indonesia on the Jakarta Post Newspaper Headlines (A CDA Approach)”. International Journal of Language Learning and Applied Linguistics World. Vol. 4 No. 3 November 2013, pp 33-49. Eriyanto. (2001). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS. Fairclough, N. (1989). Language and Power. Harlow-Essex: Longman Group Limited. Fairclough, N. (1995). Critical Discourse Analysis. The Critical Study of Language. Harlow- Essex: Longman Group Limited. Fox, R. (2008). “English in Tourism: A Sociolinguistic Perspective”, Tourism and Hospitality Management, An International Journal of Multidisiplinary Research for South-Eastern Europe, Vol. 12, No. 1, 2008. Hallet, Richard W. and Weinger, J.K. (2009). Official Tourism Websites: A Discourse Analytic Perspective. Chicago: IL. Halliday, M.A.K. and Hasan, R. (1987). Cohesion in English. New York : Longman, Inc. Halliday, M.A.K. (1994). Language as Social Semiotic: The Social Interpretation of Language and Meaning. New York: Routledge. Kheirabadi, R. dan Moghaddam, S.B.A. (2012). “The Linguistic Representation of Iranian and Westren Actors of Iran’s Nuclear Program in International Media: A CDA Study. Theory and Practice in Language Studies, Vol. 2, No. 10, pp 2183-2188, October 2012. Finland: Academy Publisher. Ling Ip, J.Y. (2008). Analyzing Tourism Discourse: A Case Study of Hong Kong Travel Brochure. LCOM Papers Vol. 1 p. 1 – 19. Hongkong : the University of Hongkong. 123
You can also read